A. Makna Tauhid
Tauhid secara bahasa arab merupakan
bentuk masdar dari fi’il wahhada-yuwahhidu (dengan huruf ha di
tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh Muhammad bin Shalih
Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian.
Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja,
kemudian baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).
Secara istilah syar’i,
makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar
dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari makna
ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh
manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan
makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah
sebagai satu-satunya sesembahan saja.
B. Pembagian Tauhid
Dari hasil pengkajian terhadap
dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang,
mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rububiyah,
Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.
Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah
adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan
oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja,
dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan
mereka. (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini
kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini
bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allahlah yang memberikan
rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah menggerakan
bintang-bintang, dll. Di nyatakan dalam Al Qur’an:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ
وَالنُّورَ
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi dan Mengadakan gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1)
Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini
diyakini semua orang baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang.
Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikhabarkan dalam
Al Qur’an:
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka
(orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan mereka?’, niscaya
mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf: 87)
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka
(orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa yang telah menciptakan langit dan bumi
serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’
”. (QS. Al Ankabut 61)
Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika
Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
tentunya belum lahir.
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah
kaum komunis atheis. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang
komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian,
berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj
Firqotin Najiyyah)
Pertanyaan, jika orang kafir jahiliyyah sudah
menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan
oleh Rasulullah dan para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh
penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin? Jawabannya, meski
orang kafir jahilyyah beribadah kepada Allah mereka tidak bertauhid uluhiyyah
kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan
Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin (Al
Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya:
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya
kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan” (Al Fatihah: 5)
Sedangkan makna ibadah adalah semua hal yang dicintai
oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai
Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya,
segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti
shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta,
bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang
bertauhid uluhiyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah
semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliyyah selain beribadah
kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristighotsah kepada selain Allah.
Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan
Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ
“Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat
dengan tujuan untuk mengatakan: ‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘”
(QS. An Nahl: 36)
Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga
bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini
adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan
alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah
saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya ditinggalkan” (Lihat Syarh
Aqidah Ath Thahawiyah).
Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat
Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang
kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah.
Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid
uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak
bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??
Sedangkan Tauhid Al Asma’ was Sifat
adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dalam penetapan nama dan sifat Allah,
yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Cara bertauhid asma wa
sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah
tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari
diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif
(Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul). Allah Ta’ala berfirman
yang artinya:
وَلِلَّهِ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka
memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)
Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau
hadits tentang nama atau sifat Allah dari makna zhahir-nya menjadi
makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya
‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.
Ta’thil adalah mengingkari dan menolak
sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah
berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.
Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud
Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak
ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang
berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk wajah Allah, dan lain-lain.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat
Allah adalah tasybih dan tafwidh.
Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat
Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman yang artinya:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11)
Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama
atau sifat Allah namun enggan menetapkan maknanya. Misalnya sebagian orang yang
berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas ‘Arsy namun kita tidak tahu
maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah’. Pemahaman ini
tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an
dan Sunnah agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya
dengan bahasa Arab yang jelas dipahami. Maka jika kita berpemahaman tafwidh
maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al
Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.
C. Pentingnya Mempelajari Tauhid
Banyak orang yang mengaku Islam.
Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid, bagaimana tauhid yang
benar, maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya. Sungguh ironis melihat
realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja
begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka
sehari-hari. Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak
mengenal Allah yang disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah,
tidak tahu nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib
dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan
terjerumus dalam perbuatan syirik. Wal’iyydzubillah. Maka sangat
penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan
inilah ilmu yang paling utama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
“Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan paling agung
kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu
tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala,
tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya” (Syarh
Ushulil Iman, 4).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar