Senin, 30 Mei 2016

Fiqih Mawaris

A. PENGERTIAN MAWARIS
 Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.

Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa:
fiqih Mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagianbagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.”

Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.

Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting didalamnya:
1. Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan
3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.
Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kat tunggal Faradha, yang berakar kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan tercatat 14 kali dalam Al-Quran, dalam berbagai konteks kata. Karena itu, kata tersebut mengandung beberapa makna dasar, yakni suatu ketentuan untuk maskawin, menurunkan Al-Quran, penjelasan, penghalalan, ketetapan yang diwajibkan, ketetapan yang pasti, dan bahkan di lain ayat ia mengandung makna tidak tua.

Pada dasarnya arti-arti diatas sangat luas sehingga dalam tulisan ini, makna kata yang cocok adalah ketetapan yang pasti, yang tercantum pada surah An-Nisa, 4: 11:
فريضة من الله إن الله كان عليما حكيما (النساء : 11)

Kata (فريضة) berakar dari kata faradha yang pada mulanya bermakna kewajiban atau perintah. Kemudian karena kata faraidh seringkali diartikan sebagai saham-saham yang telah dipastikan kadarnya maka ia mengandung arti pula sebagai suatu kewajiban yang tidak bisa diubah karena datangnya dari Tuhan.

Saham-saham yang tidak dapat diubah adalah angka pecahan 1/2 , 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3 yang terdapat dalam surah An-Nisa, 4:11, 12 dan 176.
Dengan singkat Ilmu Faraidh dapat di definisikan sebagai Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris. Definisi inipun berlaku juga bagi Ilmu Mawarits, sebab Ilmu Mawarits, tidak lain adalah nama lain dari Ilmu Faraidh.

Adapun kata al-mawarits, adalah jama` dari kata mirots. Dan yang dimaksud dengan almirotsu, demikian pula alirtsu, wirtsi, wirotsah dan turots, yang diartikan dengan al-murutsu, adalah harta peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli warisnya. Orang yang meninggalkan harta tersebut dinamakan al-muwaritsu sedang ahli waris disebut dengan al-waritsu.

B. SEJARAH PERKEMANGAN ILMU FARAIDH/ ILMU MAWARIS
Tata aturan pembagian harta puaka di dalam masyarakat jahiliyyah, sebelum Islam datang, didasarkan atas nasab dan kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu mereka yang lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk mempertahankan kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri saudara di jadikan harta pusaka.

Kemudin, pengangkatan anak, berlaku dikalangan jahiliyah dan apabila sudah dewasa si anak angkat mempunyai hakyang sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu, apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat mempunyai hak mewaris sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya. Demikian di awal Islam ini masih berlaku.

Ketika Nabi Muhammad SAW. Hijrah demikian pula sahabat-sahabatnya, Nabi Muhammad mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Dan dikatakan persaudaraan inipun oleh Nabi dijadikan sebab pusaka-mempusakai antara mereka. Sebagai contoh, apabila seorang Muhajirin meninggal di Madinah dan bersamanya ikut walinya (ahli wais), harta pusakanya akan diwarisi oleh walinya yang ikut hijrah itu. Sedang walinya yang ikut hijrah, tidak berhak mempusakai hartanya tersebut. Dan apabila seorang Muhajir yang pindah itu meninggal dan tidak mempunyai wali, harta pusakanya dapat diwarisi oleh saudaranya dari Anshor yang menjadi ahli waris karena telah menjadi saudara itu. Tentu saja waris dari persaudaraan yang demikian itu, hanya apabila lelaki dan tentu saja sudah dewasa.

Tetapi didalam perkembangannya, masalah pengangkatan anak ini dihapus oleh Islam, pengangkatan anak itu tidak menyebabkan si anak angkat berkedudukan sebagai anak kandung. Tidak, Ia tetap sebagai anak lain.

Hal ini dinyatakan dalam Al-Quran:
وما جعل ادعياءكم ابناءكم ذلكم قولكم بافواهكم والله يقول الحق وهو يهدى السبيل (4) ادعوهم لابائهم هواقسط عندالله فان لم تعلموااباءهم فاخوانكم فى الدين ومواليكمز. (الاحزب : 4-5).
Artinya : “Dan tidaklah Allah menjadikan anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah ucapan di mulut saja. Dan Allah mengucapkan yang benar, dan Ia menunjukan jalan yang benar. Dan panggilah anak-anak itu menurut nama bapak-bapak mereka sendiri. Itulah yang adil di sisi Allah. Apabila kamu sekalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, panggilah sebagai panggilan saudaramu dalam agama dan maula-maulamu…(Al-Ahzab 4-5).

Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Di dalamnya masih terdapat penambahan-penambahan yang lebih bekonotasi strategis untuk kepentingan dakwah, atau bahkan “politis”. Tujuannya adalah, untuk merangsang persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam. Pertimbangannya, kekuatan Islam pada masa itu, dirasakan masih sangat lemah baik sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan-pemantapan ajarannya, yang masih dalam dinamika perubahan.

Oleh karena itu, dasar-dasar pewarisan yang digunakan pada masa awal-awal Islam, selain meneruskan beberapa nilai lama, juga ditambahkan dasar-dasar baru sebagai berikut:
a. Pertalian kerabat (Al-Qarabah);
b. Janji prasetia (Al-bilf wa al mu`aqadah);
c. Pengangkatan anak (Al-tabanni) atau adopsi;
d. Hijrah dari Mekah ke Madinah;
e. Ikatan persaudaraan (Al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan orang-orang Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin dari Mekah di Madinah.

C. HUKUM MEMPELAJARI DAN MENGAJARKANNYA
Nabi Muhammad SAW. Bersabda:

تعلمواالفرائض وعلموهاالناس فإنه نصف العلم وهو ينسى وهو اول شئ ينزع من امتى. (رواه ابن ماجه والدارقطنى)
Artinya, “pelajarilah al-faraidh dan ajarkannlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya faraidh itu separuh ilmu, dan ia pun akan dilupakan serta ia pun merupakan ilmu yang pertama kali akan di cabut dikalangan ummat ku”. (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthniy).”
Hukum mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah artinya, bila sudah ada yang mempelajarinya, gugurlah kewajiban itu bagi orang lain.

Dan ada juga yang mewajibkan mempelajari dan mengajarkannya. Bagi seorang muslim, tidak terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak memahami atau mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya (dilaksanakan mendapat pahala, tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajarinya. Dan sebaliknya bagi barang siapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam maka berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain.

Kewajiban belajar dan mengajarkan tersebut dimaksudkan agar dikalangan kaum muslimin (khususnya dalam keluarga) tidak terjadi perselisihan-perselisihan disebabkan masalah pembagian harta warisan yang pada gilirannya akan melahirkan perpecahan/ keretakan dalam hubungan kekeluargaan kaum muslim.
Adapun perintah belajar dan mengajarkan hukum waris Islam dijumpai dalam Tekas hadits Rasulullah SAW., yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa`I dan Ad-Daruqthniy yang artinya berbunyi sebagai berikut:

“Pelajarilah Al-Quran dan ajarkan kepada orang-orang dan pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang-orang. Karena saya adalah yang bakal direnggut (mati), sedangkan ilmu itu akan diangkat. Hampir-hampir dua orang yang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup memfatwakannya kepada mereka.” (Fathur Rahman, 1987 : 35).

Perintah wajib tersebut didasarkan kepada perintah tekstual “pelajarilah”, yang dalam kaidah hukum disebutkan “asalnya dari setiap perintah itu adalah wajib”, maka dapat disimpulkan belajar ilmu hukum waris bagi siapa saja (khususnya bagi bagi kaum muslimin yang belum pandai) adalah wajib.

Namun demikian perlu dicatat menuerut Ali bin Qasim sebagaiman dikonstatir Fathur Rahman kewajiban dan mengajarkan hukum waris gugur apabila ada sebagian orang yang melaksanakannya (belajar dan mengajarkan hukum waris). Seluruh kaum Muslimin akan menanggung dosanya lantarkan mengabaikan atau melalaikan perintah, tak ubahnya seperti meniggalkan fardhu kifayah (kewajiban-kewajiban masyarakat secara kolektif) seperti menyelenggarakan penguerusan jenazah.

Begitu pentingnya Ilmu Faraidh, sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagai separuh ilmu. Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertamakali di cabut. Akhirnya pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak orang yang mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Bukankah karena itu ilmu ini lama-lama akan lenyap juga, karena sedikit yang mempelajarinya?. Lebih-lebih apabila orang akan membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebujaksanaan dan tidak berdasar hukum Allah SWT.

SKI ( Khulafaur Rasyidin)

A. Pengertian Khulafaur Rasyidin
Khulafaur Rasyidin menurut bahasa artinya para pemimpin yang mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Sedangkan menurut istilah yaitu para khalifah (pemimpin umat Islam) yang melanjutkan kepemimpinan Rasulullah SAW sebagai kepala negara (pemerintah) setelah Rasulullah SAW wafat.
Rasulullah SAW meninggal dunia tidak hanya sebagai seorang Nabi yang diutus Allah SWT untuk menyampaikan risalah agama Islam, namun lebih dari itu Beliau juga seorang kepala negara yang memimpin suatu negara. Oleh karena itu, jabatannya sebagai kepala pemerintahan harus ada yang menggantikannya.
Maka setelah Rasulullah wafat, para sahabat Muhajirin maupun sahabat Anshor berkumpul untuk bermusyawarah mengangkat seorang pemimpin diantara mereka. Pengangkatan seorang pemimpin atas dasar musyawarah yang dilakukan secara demokratis sesudah wafatnya Nabi inilah yang disebut Khulafaur Rasyidin. Jumlahnya ada 4 orang, yaitu:
a. Abu Bakar as Shiddiq
b. Umar bin Khatab
c. Usman bin Affan
d. Ali bin Abu Thalib
Sesudah Ali bin Abu Thalib, para pemimpin umat Islam (khalifah) tidak termasuk Khulafaur Rasyidin karena mereka merubah sistem dari pemilihan secara demokratis menjadi kerajaan, yaitu kepemimpinan didasarkan atas dasar keturunan seperti halnya dalam sistem kerajaan.

 B. Masa Abu Bakar as Shiddiq ( 11 – 13 H = 632 – 634 M )
Khalifah pertama sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah Abu Bakar as Shiddiq. Nama aslinya adalah Abdullah bin Abi Ghufah. Dipanggil Abu Bakar yang berarti ayah dari seorang gadis, karena memang Abu Bakar mempunyai anak gadis yang bernama Aisyah yang kemudian menjadi istri Rasulullah SAW.
Dia termasuk Assabiqunal awwalun yaitu orang yang mula-mula masuk agama Islam. Mendapat julukan as Shiddiq karena dialah yang selalu membenarkan apa yang ada pada diri Rasulullah SAW. Diantara para sahabat Nabi, dialah yang tertua dan yang paling dekat hubungannya dengan Nabi. Dialah yang menemani Nabi saat berhijrah dari Mekkah menuju Madinah. Usianya 3 tahun lebih muda daripada Nabi.
Melihat kedekatan hubungan dengan Nabi tersebut, maka para sahabat baik sahabat Muhajirin (orang yang ikut hijrah bersama Nabi atau penduduk asli Mekkah) dan sahabat Anshor (penolong / penduduk asli Madinah) semuanya sepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama.
Pada masa kepemimpinannya, usaha-usaha yang telah dilakukannya adalah:
a) Menghadapi para pemberontak yang terdiri atas orang-orang yang murtad (keluar dari agama Islam) serta orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
b) Menghadapi orang-orang yang mengaku dirinya sebagai Nabi (nabi palsu) seperti: Musailamah Al Kazab, Al Aswad, Tulaihah dan Sajjah Tamamiyah.
c) Mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an menjadi 1 kumpulan, mengingat banyak para sahabat penghafal Al-Qur’an yang gugur dalam peperangan menghadapi orang-orang yang murtad.
Abu Bakar hanya memimpin selama 2 tahun, karena pada tahun 13 H Abu Bakar meninggal dunia karena sakit yang dideritanya dalam usia 63 tahun dan dikubur di samping makam Rasulullah
.
 C. Umar bin Khathab ( 13 – 23 H= 634 – 644 M)
Umar bin Khathab adalah putra Naufal Al Quraisyi dari Bani Ady. Sebelum Islam suku Bani Ady terkenal sebagai suku yang terpandang mulia, megah, dan berkedudukan tinggi. Masuk Islam pada tahun ke enam dari kenabian, berwatak keras dan pemberani, tapi juga lemah lembut sering menyamar sebagai rakyat jelata. Usaha-usaha Khallifah Umar bin Khathab antara lain :
a. Pembagian wilayah kekuasaan islam menjadi beberapa bagian (propinsi) yang masing-masing propinsi di pimpin oleh seseorang Amirul mukminin. Hal ini mengingat semakin luasnya daerah kekuasaan Islam.
b. Pembentukan dewan-dewan pemerintahan seperti dewan perbendaharaan negara (Baitul maal), dewan peradilan (Qadhil Qudhah), dewan pertahanan dsb.
c. Penetapan tahun Hijriyah yang dimulai penanggalannya dari hijrah nabi dari Mekkah ke Madinah.
d. Pembemtukan urusan kehakiman dan pembangunan Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjid Aqsha, dll.
e. Memperluas daerah kekuasaan Islam dan penyebaran agama Islam ke beberapa daerah seperti: Damaskus, Mesir, Babilonia dan beberapa bekas jajahan Romawi Timur.
Melihat keberhasilan Umar bin Kathab ini, banyak musuh dari negara lain hendak membunuh khalifah. Maka seorang tahanan perang Nahawan yang bernama Fairus( Abu Lu’lu’) dari bangsa Persia dan menjadi hamba atau budak dari Mughiroh bin Syu’bah sakit hati dan dendam kepada khalifah atas hancurnya kekaisaran Persia. Maka pada suatu hari tepatnya pada tahun 23 H khalifah Umar meninggal dunia karena dibunuh oleh Abu Lu’lu.

 D. Usman bin Affan (23 – 35 H = 644 – 656 M)
Usman bin Affan adalah putra Abdu Syam bin Abdi Manaf, lahir pada tahun ke-5 Miladiyah di Mekkah. Dia merupakan bangsaan Quraisy yang sangat kaya raya namun sangat dermawan. Oleh Rasulullah diberi gelar ZUN NURAIN yang artinya orang yang mempunyai dua cahaya. Hal ini disebabkan karena Usman menikah dengan dua puteri Rasulullah SAW yaitu dengan Siti Ruqayah dan kemudian setelah meninggal dunia, Rasulullah SAW kembali menikahkannya dengan puterinya yang lain yang bernama Umi Kulsum.
Saat diangkat menjadi khalifah Usman telah berusia70 tahun, namun demikian usaha dan jasa-jasanya selama menjadi khalifah sangat besar sekali bagi umat Islam khususnya yang menyangkut usaha pembukuan Al quran menjadi satu mushaf.
Pada masa pemerintahannya, banyak terjadi perbedaan di kalangan umat Islam mengenai bacaan Al Quran. Melihat kondisi seperti ini, khalifah kemudian membentuk suatu panitia khusus yang bertugas membukukan Al Quran menjadi satu mushaf yang sama ejaan maupun bahasanya. Yang termasuk panitia ini adalah Zaid bin Tsabit sebagai ketua dibantu oleh Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin Ash, dan Abdur Rahman bin Haris bin Hisyam.
Kepada panitia khalifah Usman berpesan agar berpedoman kepada hafalan para sahabat penghafal Al Quran dan jika terjadi perbedaan dalam dialek, maka dikembalikan kepada bahasa atau dialek Quraisy karena Al Quran diturunkan dengan dialek suku Quraisy. Panitia menyusun sebanyak lima buah, masing-masing dikirim ke beberapa daerah seperti: Syam, Kufah, Basrah, dan Mesir. Sedangkan yang satu tetap berada di Madinah untuk khalifah sendiri yang disebut Mushaf Al Imam.
Di samping usaha pembukuan Al Quran tersebut, khalifah Usman juga melakukan usaha perluasan daerah kekuasaan Islam, sehingga pada saat itu Islam telah mencapai Afrika (Tunisia, Sudan, Tripoli Barat) dan daerah Armenia.Khalifah Usman menghadapi pemberontakan dari beberapa golongan diantaranya adalah dari Khufah dan Basrah, demikian jugu dari Abdullah bin Abu Bakar. Khalifah dikepung oleh para pemberontak selama 40 hari lamanya, sampai akhirnya beliau dibunuh oleh para pemberontak (Abdullah bin Saba’) pada tahun 35 H.

 E. Ali bin Abu Thalib ( 35 – 40 H = 656 – 661 M)
Ali bin Abu Thalib adalah anak dari paman Nabi Muhammad SAW yang bernama Abu Thalib. Sejak kecil telah bergaul dengan Rasulullah SAW karena Nabi juga diasuh oleh Abu Thalib. Setelah Nabi Muhammad SAW berkeluarga, maka Ali ikut dengan Nabi Muhammad SAW.
Ali lahir di Mekkah pada tahun 661 H. Termasuk Assabiqunal awalun dan orang yang paling muda dari beberapa orang yang pertama kali masuk agama Islam, karena pada waktu itu usianya baru 8 tahun. Dia merupakan seorang pemimpin yang cerdas, jujur, pemberani, adil, dan pandai dalam strategi perang karena setiap peperangan yang dihadapi oleh umat Islam, Ali selalu mengikutinya dan berada di barisan paling depan sebagai panglima yang mengatur strategi pasukan Islam. Setelah dewasa, Rasulullah SAW menikahkannya dengan salah satu puterinya yang bernama Siti Fatimah.
Proses pengangkatan Ali sebagai khalifah melalui musyawarah di kalangan umat Islam, namun demikian keadaan umat Islam pada waktu itu sudah mengalami perpecahan yang hebat. Banyak bermunculan golongan-golongan yang disebabkan oleh perbedaan pandangan mereka dalam hal kepemimpinan umat Islam.
Banyak peperangan yang terjadi ketika masa pemerintahan khalifah Ali, dan yang terpenting adalah peperangan Jamal dan Shiffin.
PEPERANGAN JAMAL
Dinamakan peperangan Jamal (unta) karena Siti Aisyah, istri Rasulullah SAW dan puteri Abu Bakar as Shiddiq ikut dalam peperangan ini dengan mengendarai unta. Ikut campurnya Aisyah memerangi Ali terpandang sebagai hal yang luar biasa sehingga orang menghubungkan peperangan ini dengan Aisyah dan untanya, walaupun peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu besar.
Sesungguhnya peperangan ini adalah peperangan yang pertama kali terjadi antara dua laskar dari kaum Muslimin, di mana seorang Muslim menghadapi seorang Muslim dengan amarahnya hendak menumpahkan darah saudaranya seagama.
Peperangan Jamal terjadi karena keinginan dan nafsu perseorangan yang timbul pada diri Abdullah bin Zubair dan Thalhah serta perasaan benci Aisyah terhadap Ali. Dosa Thalhah agak ringan dibanding dosa Abdullah karena Thalhah tidak sampai mempengaruhi kaum Muslimin. Dan tak ada pengaruhnya terhadap Aisyah yang dapat mendorong Aisyah agar mempengaruhi kaum Muslimin dengan menggunakan kedudukannya sebagai Ummul Mukminin.
Akan tetapi, Abdullah bin Zubair sangat bernafsu untuk menduduki kursi khalifah dan berupaya dengan sungguh-sungguh menghasut Aisyah menghidupkan api peperangan agar keinginannya menduduki kursi khalifah dapat tercapai.
Ali disalahkan karena dia dipandang tidak dapat menguasai laskarnya seluruhnya. Ketika ada usahanya hendak mencari perdamaian, diantara pengikut-pengikutnya ada yang membuat komplotan untuk menyalakan api peperangan. Andai kata beliau berwibawa penuh terhadap laskarnya, mungkin peperangan dapat dihindarkan. Yang memikul tanggung jawab atas terjadinya peperangan Jamal yang telah menelan korban puluhan ribu umat manusia adalah Abdullah bin Zubair dan Aisyah.
PEPERANGAN SHIFFIN
Peperangan Shiffin adalah peeprangan antara khalifah Ali dan Mu’awiyah. Ali dan pengikut-pengikutnya mulanya mengira bahwa peperangan yang pertama dan itu pun akan merupakan peperangan penghabisan haruslah untuk menundukkan Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang didukung penduduk Syam.
Mu’awiyah adalah anak Abu Sufyan (paman Usman) pemuka Bani Umayah yang amat disegani dan dipatuhi oleh laskarnya. Thalhah dan Zubair sebelumnya tidak dipandang musuh oleh Ali, terlebih sesudah keduanya memberikan bai’ah dan sumpah setianya kepada Ali. Begitu pula tidak seorang pun menyangka bahwa kebencian Aisyah terhadap Ali akan sampai sedemikian rupa sehingga Aisyah menceburkan diri ke dalam peperangan memimpin bala tentara melawan Ali.
Peperangan Jamal mengakibatkan gugurnya ribuan tentara Ali. Sementara itu, Mu’awiyah memperkuat laskarnya dengan membagi-bagi uang kepada mereka dan pengikutnya sehingga ikatan kesatuan mereka menjadi kuat.
Pertempuran terjadi antara kedua laskar beberapa hari lamanya. Ali dengan keberanian pribadinya dapat membangkitkan semangat dan kekuatan laskarnya, sehingga kemenangan sudah membayang baginya. Ahli-ahli sejarah yang mempelajari sejarah kehidupan Ali di bidang kemiliteran menemukan bahwa dalam setiap pertempuaran Ali selalu menang. Menang dalam peperangan Jamal, Shiffin dan beberapa peperangan dengan Khawarij. Akan tetapi, beliau kalah dalam diplomasi dan tak dapat mengelak dari tipu daya.
Ketika akhir hayat khalifah Usman bin Affan menghadapi berbagai kelompok pemberontak, maka demikian pula dengan keadaan yang dialami oleh khalifah Ali bin Abu Thalib. Oleh karena itu, pada masa pemerintahannya Ali lebih banyak menghadapi para pemberontak ini terutama pemberontakan yang dilakukan oleh gubernur Mesir yang bernama Muawiyah bin Abu Sufyan.
Hampir seluruh masa pemerintahannya habis untuk menghadapi para pemberontak, sehingga usaha dan jasa-jasa khalifah Ali tidak begitu banyak diketahui. Khalifah Ali meninggal dunia karena dibunuh oleh salah seorang golongan Khawarij yang bernama Ibnu Muljam pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H.
Dengan wafatnya khalifah Ali, maka masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin telah selesai karena sesudah itu pemerintahan Islam dipegang oleh khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan secara turun-temurun, sehingga disebut Daulat / Bani Umayyah.

Munakahat



 A.     Pengertian Munakahat
Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar pernikahan adalah nikah. Menurut bahasa Indonesia, nikah artinya bersatu atau berkumpul. Dalam istilah syariat, nikah artinya melakukan akad nikah atau perjanjian untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan,serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka sama suka demi terwujudnya rumah tangga yang bahagia, yang diridoi oleh Allah SWT.
 B.     Dalil Nikah
Allah menciptakan makhluk dalam bentuk berpasang-pasangan.
Firman Allah SWT:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.(Q.S. Az-Zariyat (41) : 49)
Secara khusus pasangan itu disebut alko-laki dan perempuan.
Firman Allah SWT: “Dan bahwasannya Dialah yang menciptakan nerpasan-pasangan laki-laki dan perempuan. (Q.S. An-Najm (53) :45)
Laki-laki dan perempuan berhubungan dan saling melengkapi dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak.
Firman Allah: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu;dan daripadanya Allah menciptakan istrinya;dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”(Q.S. An-Nisa (4) : 1)
Perkawinan dijadikan sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran Allah.
Firman Allah: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesunggunya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(Q.S. Ar-Rum (30) : 21)
 C.     Tujuan Munakahat
1.      Untuk mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya
2.      Untuk memperoleh hidup yang tentram dan bahagia (sakinah, mawadah, dan warohmah)
3.      Untuk  keselamatan diri sendiri, keluarga, keturunan, dan masyarakat.
4.      Untuk memelihara kebinasaan hawa nafsu.
5.      Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih sayang.
6.      Untuk memenuhi kebutuhan seksual secara sah dan diridoi Allah SWT.

 D.     Hukum Munakahat
Perkawinan adalah ibadah yang dianjurkan Allah SWT dan Nabi Muhammad saw. Banyak perintah Allah dalam Al-quran agar melaksanakan perkawinan.Firman Allah SWT: “Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yanglayak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui.(Q.S. An-Nur (24) : 32)
Ditinjau dari segi kondisi orang yang akan menikah, hukum nikah sebagai berikut:
1.      Sunnah, artiya bagi orang yang ingi menikah, mampu nikah, mampu mengendalikan diri dari perzinahan, tetapi tidak ingin menikah.
2.      Wajib, artinya bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zinah jika tidak segera menikah.
3.      Makruh, artinya bagi orang yang ingin menikah, tetapi belum mampu memberi nafkah terhadap istri dan anak-anaknya.
4.      Haram, artinya bagi orang yang ingin menikah, tujuannya yang hanya menyakiti istrinya.
 E.     Rukun Munakahat
Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab dan kabul.
1.      Ada calon suami, syarat: laki-laki, dewasa, islam, kemauan sendiri, tidak sedang ihram, haji atau umroh, dan bukan muhrimnya.
2.      Ada calon istri, syarat: perempuan, cukup umur (16 tahun), bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan pernikahan dengan orang lain, bukan muhrim, dan tidak ihram haji atau umroh.
3.      Ada wali nikah: Wali nikah adalah orang yang mengijinkan pernikahan.
Macam-macam wali nikah dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Wali nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan. Adapun urut-urutan wali nasab sebagai berikut.
1)      Ayah kandung
2)      Kakek(ayah dari ayah)
3)      Saudara laki-laki sekandung.
4)      Saudara laki-laki seayah.
5)      Saudara laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah.
2.      Wali hakim, yaitu kepala Negara yang beragama islam, menteri agama, kepala KUA. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila:
 Wali nasab benar-benar tidak ada, sedang ihram, haji atau umroh, menolak sebagai wali, masuk penjara dan hilang.
Wali yang lebih dekat tidak memenuhi syarat, berpergian jauh, tidak memberi kuasa terhadap wali nasab, dan wali yang lebih jauh tidak ada.
1)      Ada saksi, syarat: islam,laki-laki, dewasa, berakal sehat, dapat berbicara,  mendengar, dan melihat, adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah.
2)      Ada kata-kata ijab dan qabul.
Ijab, artinya ucapan wali dari pihak mempelai wanita, sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Qabul, artinya ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda penerimaan. Alam ijab qabul,suami wajib member mahar(mas kawin).
 F.      Syarat-syarat Munakahat
Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah :
·         Persetujuan kedua belah pihak,
·         Mahar (mas kawin),
·         Tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan. Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak sah atau batal demi hukum.
Muhrim
Menurut bahasa, muhrim artinya diharamkan. Dalam ilmu fikih, muhrim artinya wanita yang haram dinikahi. Sebab-sebab wanita haram dinikahi, karena:
             Keturunan
·         Ibu kandung
·         Anak kandung
·         Saudara perempuan dari bapak
·         Saudara perempuan dari saudara laki-laki.
·         Saudara perempuan dari saudara perempuan.
·         Hubungan sesusuan
·         Ibu yang menyusui
·         Saudara perempuan sesusuan
·         Perkawinan
·         Ibu dari istri (mertua)
·         Anak tiri
·         Ibu tiri (istri dari ayah). Allah berfirman yang artinya: dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang pernah dikawini ayahmu. (QS.An-Nissa:22)
·         Menantu (istri dari anak laki-laki)
·         Mempunyai pertalian muhrim dengan istri.
Mahar dalam pernikahan
Mahar adalah harta yang diberikan pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu berbentuk uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri. Mahar dan Nilai Nominal.
Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang, sebab mahar
adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang
dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi.
Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya. Hal seperti ini yang di masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah. Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan suami kepada istri. Jadi
sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaanatau benda berharga lainnya.
Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat, tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon istrinya.
Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata duitan’, banyak wanita muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu diembel-embeli dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran. Padahal pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang eksak. Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru sangat eksak dan bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang bersifat abstrak dan nilai-nilai moral. Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri sendiri.
Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran
sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia
tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan
mengganggu status perkawinannya.

Mahar Dengan Mengajar Al-Quran
Demikian juga bila maharnya adalah mengajarkan Al-Quran kepada istri, tentu harus dibuat batasan bentuk pengajaran yang bagaimana, kurikulumnya apa, berapa kali pertemuan, berapa ayat, pada kitab rujukan apa dan seterusnya. Sebab ketika mahar itu berbentuk emas, selalu disebutkan jumlah nilainya atau beratny, maka ketika mahar itu berbentuk pengajaran Al-Quran, juga harus ditetapkan batasannya.
Kejadian di masa Rasulullah SAW di mana seorang shahabat memberi mahar berupa hafalan Al-Quran, harus dipahami sebagai jasa mengajarkan Al-Quran. Dan mengajarkan Al-Quran itu memang jasa yang lumayan mahal secara nominal. Apalagi kita tahu bahwaistilah ‘mengajarkan Al-Quran’ di masa lalu bukan sebatas agar istri bisa hafal bacaannya belaka, melainkan juga sekaligus dengan makna, tafsir, pemahaman fiqih dan ilmu-ilmu yang terkait dengan masing-masing ayat tersebut.
Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,”Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu”, Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.” Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? Dia berkata, “Tidak kecuali hanya sarungku ini” Nabi menjawab,”bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu.” Dia berkata,” aku tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah berkata, ” Carilah walau cincin dari besi.” Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi,” Apakah kamu menghafal qur’an?” Dia menjawab,”Ya surat ini dan itu” sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,”Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur’anmu” (HR Bukhori Muslim).
Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa beliau bersabda,”Ajarilah dia al-qur’an.” Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.
Permintaan mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal ini pada gilirannya harus dipandang wajar, sebab kebanyakan wanita sekarang seolah tidak terlalu mempedulikan lagi nilai nominal mahar yang akan diterimanya.
Nominal Mahar Dalam Kajian Para Ulama
Secara fiqhiyah, kalangan Al- Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.
Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil Kenyataan bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat dipahami oleh syariah Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yangkaya dan sebagian besar miskin. Ada orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang tidak mampu memenuhinya.
Karena itu, syariah Islam memberikan keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau mengangsurnya.
Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang dirugikan. Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal, sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai.
Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum Islam. Ingatkah anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami
mengatakan,”Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas TUNAI!!.” Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami
menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.
Namun bila dia tidak punya kemampuan untuk membayar tunai, dia boleh mengangsurnya dalam jangka waktu tertentu. Jadi bisa saja bunyi ucapan lafadznya begini: “Saya terima nikahnya dengan maskawin uang senilai 100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun.” Bila Terlalu Miskin Dan Sangat Tidak Mampu. Namun ada juga kelas masyarakat yang sangat tidak mampu, miskin dan juga fakir. Di mana untuk sekedar makan sehari-hari pun tidak punya kepastian. Namun dia ingin menikah dan punya istri. Solusinya adalah dia boleh memilih istri yang sekiranya sudah mengerti keadaan ekonominya. Kalau membayar maharnya saja tidak mampu, apalagi bayar nafkah. Logika seperti itu harus sudah dipahami dengan baik oleh siapapun wanita yang akan menjadi istrinya.
Maka Islam membolehkan dia memberi mahar dalam bentuk apapun, dengan nilai serendah mungkin. Misalnya cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkanatau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridho dan rela atas mahar itu.
 G.    Kewajiban dan Hak Suami dan Istri
1.                 Kewajiban Suami
·         Memberi nafkah, sandang, pangan, dan tempat tinggal.
·         Berlaku adil, sabar terhadap istri dan anak-anaknya.
·         Memberi penuh perhatian terhadap istri.
·         Hormat dan bersikap baik kapada keluarga istri
2.                    Kewajiban Istri
·         Taat kepada suami sesuai dengan ajaran Islam.
·         Menerima dan menghormati pemberian suami sesuai kemampuannya.
·         Memelihara diri kehormatan dan harta benda suami.
·         Memelihara, mengasuh, mendidik anak-anak agar menjadi saleh/saleha.Membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarga.
·         Hormat kepada suami dan keluarganya.
3.              Hak Suami dari Istri
·         Mendapat penghormatan dan kasih sayang.
·         Mendapat pelayanan yang menyenangkan.
·         Mendapat dorongan dan bantuan dari istri.
·         Memperoleh keturunan dari istri.
·         Memperoleh kebahagiaan dari istri.
4.              Hak Istri dari Suami
·         Memperoleh nafkah baik lahir dan batin
·         Memperoleh perlindungan dari suami.
·         Memperoleh ketenangan dan kedamaian dari suami.
·         Memperoleh cinta kasih dan sayang.
·         Memperoleh kehangatan dan kebahagiaan dari suami.
 H. Hikmah Munakahat
Pernikahan merupakan cara yang benar, baik, dan di ridoi Allah SWT untuk memperoleh anak serta mengembangkan keturunan yang sah.
1)      Melalui pernikahan kita dapat menyalurkan naluri kebapakan bagi laki-laki dan naluri keibuan bagi wanita.
2)      Melalui pernikahan, suami istri dapat memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka memelihara, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya.Melalui pernikahan, suami istri dapat membagi rasa tanggung jawab yang sebelumnya dipikul oleh masing-masing pihak.
3)      Pernikahan dapat pula membentengi diri dari perbuatan tercela.
4)      Pernikahan merupakan sunah Rasulullah saw.