A. Pengertian
Munakahat
Munakahat berarti pernikahan atau
perkawinan. Kata dasar pernikahan adalah nikah. Menurut bahasa Indonesia, nikah
artinya bersatu atau berkumpul. Dalam istilah syariat, nikah artinya melakukan
akad nikah atau perjanjian untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan,serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan
dasar suka sama suka demi terwujudnya rumah tangga yang bahagia, yang diridoi
oleh Allah SWT.
B. Dalil Nikah
Allah menciptakan makhluk dalam
bentuk berpasang-pasangan.
Firman Allah SWT:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.(Q.S. Az-Zariyat
(41) : 49)
Secara khusus pasangan itu disebut alko-laki dan
perempuan.
Firman Allah SWT: “Dan bahwasannya Dialah yang
menciptakan nerpasan-pasangan laki-laki dan perempuan. (Q.S. An-Najm (53) :45)
Laki-laki dan perempuan berhubungan dan saling
melengkapi dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak.
Firman Allah: “Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu;dan daripadanya
Allah menciptakan istrinya;dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak.”(Q.S. An-Nisa (4) : 1)
Perkawinan dijadikan sebagai salah satu tanda-tanda
kebesaran Allah.
Firman Allah: “Dan diantara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antara
kamu rasa kasih dan sayang. Sesunggunya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(Q.S. Ar-Rum (30) : 21)
C. Tujuan
Munakahat
1.
Untuk
mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya
2.
Untuk
memperoleh hidup yang tentram dan bahagia (sakinah, mawadah, dan warohmah)
3.
Untuk
keselamatan diri sendiri, keluarga, keturunan, dan masyarakat.
4.
Untuk
memelihara kebinasaan hawa nafsu.
5.
Untuk
memperoleh rasa cinta dan kasih sayang.
6.
Untuk
memenuhi kebutuhan seksual secara sah dan diridoi Allah SWT.
D. Hukum
Munakahat
Perkawinan adalah ibadah yang
dianjurkan Allah SWT dan Nabi Muhammad saw. Banyak perintah Allah dalam
Al-quran agar melaksanakan perkawinan.Firman Allah SWT: “Dan kawinlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yanglayak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.
Dan Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui.(Q.S. An-Nur (24) : 32)
Ditinjau dari segi kondisi orang yang akan menikah,
hukum nikah sebagai berikut:
1.
Sunnah, artiya bagi orang yang ingi menikah, mampu
nikah, mampu mengendalikan diri dari perzinahan, tetapi tidak ingin menikah.
2.
Wajib, artinya bagi orang yang ingin menikah, mampu
menikah, dan ia khawatir berbuat zinah jika tidak segera menikah.
3.
Makruh, artinya bagi orang yang ingin menikah, tetapi
belum mampu memberi nafkah terhadap istri dan anak-anaknya.
4.
Haram, artinya bagi orang yang ingin menikah, tujuannya
yang hanya menyakiti istrinya.
E. Rukun
Munakahat
Rukun adalah unsur-unsur yang harus
ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari
calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab dan kabul.
1.
Ada calon suami, syarat: laki-laki, dewasa, islam,
kemauan sendiri, tidak sedang ihram, haji atau umroh, dan bukan muhrimnya.
2.
Ada calon istri, syarat: perempuan, cukup umur (16
tahun), bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan pernikahan dengan orang
lain, bukan muhrim, dan tidak ihram haji atau umroh.
3.
Ada wali nikah: Wali nikah adalah orang yang
mengijinkan pernikahan.
Macam-macam wali nikah dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1.
Wali nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan
mempelai wanita yang akan dinikahkan. Adapun urut-urutan wali nasab sebagai
berikut.
1)
Ayah
kandung
2)
Kakek(ayah
dari ayah)
3)
Saudara
laki-laki sekandung.
4)
Saudara
laki-laki seayah.
5)
Saudara
laki-laki ayah yang sekandung dengan ayah.
2.
Wali
hakim, yaitu kepala Negara yang beragama islam, menteri agama, kepala KUA. Wali
hakim bertindak sebagai wali nikah apabila:
Wali nasab
benar-benar tidak ada, sedang ihram, haji atau umroh, menolak sebagai wali,
masuk penjara dan hilang.
Wali yang lebih dekat tidak memenuhi syarat,
berpergian jauh, tidak memberi kuasa terhadap wali nasab, dan wali yang lebih
jauh tidak ada.
1)
Ada saksi, syarat: islam,laki-laki, dewasa, berakal
sehat, dapat berbicara, mendengar, dan melihat, adil, dan tidak sedang
ihram haji atau umrah.
2)
Ada kata-kata ijab dan qabul.
Ijab, artinya ucapan wali dari pihak mempelai wanita,
sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Qabul, artinya ucapan mempelai
laki-laki sebagai tanda penerimaan. Alam ijab qabul,suami wajib member
mahar(mas kawin).
F.
Syarat-syarat Munakahat
Dalam agama Islam, syarat perkawinan adalah :
·
Persetujuan kedua belah pihak,
·
Mahar (mas kawin),
·
Tidak boleh melanggar larangan-larangan
perkawinan. Bila syarat perkawinan tak terpenuhi, maka perkawinan tersebut
tidak sah atau batal demi hukum.
Muhrim
Menurut bahasa, muhrim artinya
diharamkan. Dalam ilmu fikih, muhrim artinya wanita yang haram dinikahi.
Sebab-sebab wanita haram dinikahi, karena:
Keturunan
·
Ibu kandung
·
Anak kandung
·
Saudara perempuan dari bapak
·
Saudara perempuan dari saudara laki-laki.
·
Saudara perempuan dari saudara perempuan.
·
Hubungan sesusuan
·
Ibu yang menyusui
·
Saudara perempuan sesusuan
·
Perkawinan
·
Ibu dari istri (mertua)
·
Anak tiri
·
Ibu tiri (istri dari ayah). Allah berfirman yang
artinya: dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang pernah dikawini
ayahmu. (QS.An-Nissa:22)
·
Menantu (istri dari anak laki-laki)
·
Mempunyai pertalian muhrim dengan istri.
Mahar dalam pernikahan
Mahar adalah harta yang diberikan
pihak calon suami kepada calon istrinya untuk dimiliki sebagai penghalal
hubungan mereka. Mahar ini menjadi hak istri sepenuhnya, sehingga bentuk dan
nilai mahar ini pun sangat ditentukan oleh kehendak istri. Bisa saja mahar itu
berbentuk uang, benda atau pun jasa, tergantung permintaan pihak istri. Mahar
dan Nilai Nominal.
Mahar ini pada hakikatnya dinilai dengan nilai uang,
sebab mahar
adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang
dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi.
adalah harta, bukan sekedar simbol belaka. Itulah sebabnya seorang
dibolehkan menikahi budak bila tidak mampu memberi mahar yang diminta oleh wanita merdeka. Kata ‘tidak mampu’ ini menunjukkan bahwa mahar di masa lalu memang benar-benar harta yang punya nilai nominal tinggi.
Bukan semata-mata simbol seperti mushaf Al-Quran atau
benda-benda yang secara nominal tidak ada harganya. Hal seperti ini yang di
masa sekarang kurang dipahami dengan cermat oleh kebanyakan wanita muslimah.
Padahal mahar itu adalah nafkah awal, sebelum nafkah rutin berikutnya diberikan
suami kepada istri. Jadi
sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaanatau benda berharga lainnya.
sangat wajar bila seorang wanita meminta mahar dalam bentuk harta yang punya nilai nominal tertentu. Misalnya uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, deposito syariah, saham, kontrakan, perusahaanatau benda berharga lainnya.
Adapun mushaf Al-Quran dan seperangkat alat shalat,
tentu saja nilai nominalnya sangat rendah, sebab bisa didapat hanya dengan
beberapa puluh ribu rupiah saja. Sangat tidak wajar bila calon suamiyang punya
penghasilan menengah, tetapi hanya memberi mahar semurah itu kepada calon
istrinya.
Akhirnya dengan dalih agar tidak dibilang ‘mata
duitan’, banyak wanita muslimah yang lebih memilih mahar semurah itu. Lalu
diembel-embeli dengan permintaan agar suaminya itu mengamalkan Al-Quran.
Padahal pengamalan Al-Quran itu justru tidak terukur, bukan sesuatu yang eksak.
Sedangkan ayat dan hadits yang bicara tentang mahar justru sangat eksak dan
bicara tentang nilai nominal. Bukan sesuatu yang bersifat abstrak dan
nilai-nilai moral. Justru embel-embel inilah yang nantinya akan merepotkan diri
sendiri.
Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran
sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia
tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan
mengganggu status perkawinannya.
Sebab bila seorang suami berjanji untuk mengamalkan isi Al-Quran
sebagai mahar, maka mahar itu menjadi tidak terbayar manakala dia
tidak mengamalkannya. Kalau mahar tidak terbayar, tentu saja akan
mengganggu status perkawinannya.
Mahar Dengan Mengajar Al-Quran
Demikian juga bila maharnya adalah
mengajarkan Al-Quran kepada istri, tentu harus dibuat batasan bentuk pengajaran
yang bagaimana, kurikulumnya apa, berapa kali pertemuan, berapa ayat, pada
kitab rujukan apa dan seterusnya. Sebab ketika mahar itu berbentuk emas, selalu
disebutkan jumlah nilainya atau beratny, maka ketika mahar itu berbentuk
pengajaran Al-Quran, juga harus ditetapkan batasannya.
Kejadian di masa Rasulullah SAW di
mana seorang shahabat memberi mahar berupa hafalan Al-Quran, harus dipahami
sebagai jasa mengajarkan Al-Quran. Dan mengajarkan Al-Quran itu memang jasa
yang lumayan mahal secara nominal. Apalagi kita tahu bahwaistilah ‘mengajarkan
Al-Quran’ di masa lalu bukan sebatas agar istri bisa hafal bacaannya belaka,
melainkan juga sekaligus dengan makna, tafsir, pemahaman fiqih dan ilmu-ilmu
yang terkait dengan masing-masing ayat tersebut.
Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW
didatangi seorang wanita yang berkata,”Ya Rasulullah kuserahkan diriku
untukmu”, Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang
berkata,” Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.”
Rasulullah berkata,” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? Dia berkata,
“Tidak kecuali hanya sarungku ini” Nabi menjawab,”bila kau berikan sarungmu itu
maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu.” Dia berkata,” aku
tidak mendapatkan sesuatupun.” Rasulullah berkata, ” Carilah walau cincin dari
besi.” Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi
berkata lagi,” Apakah kamu menghafal qur’an?” Dia menjawab,”Ya surat ini dan
itu” sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,”Aku telah
menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur’anmu” (HR Bukhori Muslim).
Dalam beberapa riwayat yang shahih
disebutkan bahwa beliau bersabda,”Ajarilah dia al-qur’an.” Dalam riwayat Abu
Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.
Permintaan mahar dalam bentuk harta yang punya nilai
nominal ini pada gilirannya harus dipandang wajar, sebab kebanyakan wanita
sekarang seolah tidak terlalu mempedulikan lagi nilai nominal mahar yang akan
diterimanya.
Nominal Mahar Dalam Kajian Para Ulama
Secara fiqhiyah, kalangan Al-
Hanafiyah berpendapat bahwa minimal mahar itu adalah 10 dirham. Sedangkan
Al-Malikiyah mengatakan bahwa minimal mahar itu 3 dirham. Meskipun demikian
sebagian ulama mengatakan tidak ada batas minimal dengan mahar.
Bila Laki-laki Tidak Mampu Boleh Mencicil Kenyataan
bahwa manusia itu berbeda-beda tingkat ekonominya, sangat dipahami oleh syariah
Islam. Bahwa sebagian dari manusia ada yangkaya dan sebagian besar miskin. Ada
orang mempunyai harta melebihi kebutuhan hidupnya dan sebaliknya ada juga yang
tidak mampu memenuhinya.
Karena itu, syariah Islam memberikan
keringanan kepada laki-laki yang tidak mampu memberikan mahar bernilai nominal
yang tinggi sesuai permintaan calon istri, untuk mencicilnya atau
mengangsurnya.
Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang dirugikan. Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal, sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai.
Kebijakan angsuran mahar ini sebagai jalan tengah agar terjadi win-win solution antara kemampuan suami dan hak istri. Agar tidak ada yang dirugikan. Istri tetap mendapatkan haknya berupa mahar yang punya nilai nominal, sedagkan suami tidak diberatkan untuk membayarkannya secara tunai.
Inilah yang selama ini sudah berjalan di dalam hukum
Islam. Ingatkah anda, setiap kali ada ijab kabul diucapkan, selalu suami
mengatakan,”Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas TUNAI!!.” Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami
menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.
mengatakan,”Saya terima nikahnya dengan maskawin tersebut di atas TUNAI!!.” Mengapa ditambahi dengan kata ‘TUNAI’?, sebab suami
menyatakan sanggup untuk memberikan mahar secara tunai.
Namun bila dia tidak punya kemampuan
untuk membayar tunai, dia boleh mengangsurnya dalam jangka waktu tertentu. Jadi
bisa saja bunyi ucapan lafadznya begini: “Saya terima nikahnya dengan maskawin
uang senilai 100 juta yang dibayarkan secara cicilan selama 10 tahun.” Bila
Terlalu Miskin Dan Sangat Tidak Mampu. Namun ada juga kelas masyarakat yang
sangat tidak mampu, miskin dan juga fakir. Di mana untuk sekedar makan
sehari-hari pun tidak punya kepastian. Namun dia ingin menikah dan punya istri.
Solusinya adalah dia boleh memilih istri yang sekiranya sudah mengerti keadaan
ekonominya. Kalau membayar maharnya saja tidak mampu, apalagi bayar nafkah. Logika
seperti itu harus sudah dipahami dengan baik oleh siapapun wanita yang akan
menjadi istrinya.
Maka Islam membolehkan dia memberi mahar dalam bentuk
apapun, dengan nilai serendah mungkin. Misalnya cincin dari besi, sebutir
korma, jasa mengajarkanatau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak
ridho dan rela atas mahar itu.
G. Kewajiban dan Hak
Suami dan Istri
1.
Kewajiban Suami
·
Memberi nafkah, sandang, pangan, dan tempat
tinggal.
·
Berlaku adil, sabar terhadap istri dan
anak-anaknya.
·
Memberi penuh perhatian terhadap istri.
·
Hormat dan bersikap baik kapada keluarga istri
2.
Kewajiban
Istri
·
Taat
kepada suami sesuai dengan ajaran Islam.
·
Menerima
dan menghormati pemberian suami sesuai kemampuannya.
·
Memelihara
diri kehormatan dan harta benda suami.
·
Memelihara,
mengasuh, mendidik anak-anak agar menjadi saleh/saleha.Membantu suami dalam
memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarga.
·
Hormat
kepada suami dan keluarganya.
3.
Hak
Suami dari Istri
·
Mendapat
penghormatan dan kasih sayang.
·
Mendapat
pelayanan yang menyenangkan.
·
Mendapat
dorongan dan bantuan dari istri.
·
Memperoleh
keturunan dari istri.
·
Memperoleh
kebahagiaan dari istri.
4.
Hak
Istri dari Suami
·
Memperoleh
nafkah baik lahir dan batin
·
Memperoleh
perlindungan dari suami.
·
Memperoleh
ketenangan dan kedamaian dari suami.
·
Memperoleh
cinta kasih dan sayang.
·
Memperoleh
kehangatan dan kebahagiaan dari suami.
H. Hikmah
Munakahat
Pernikahan
merupakan cara yang benar, baik, dan di ridoi Allah SWT untuk memperoleh anak
serta mengembangkan keturunan yang sah.
1)
Melalui
pernikahan kita dapat menyalurkan naluri kebapakan bagi laki-laki dan naluri
keibuan bagi wanita.
2)
Melalui
pernikahan, suami istri dapat memupuk rasa tanggung jawab dalam rangka
memelihara, mengasuh, dan mendidik anak-anaknya.Melalui pernikahan, suami istri
dapat membagi rasa tanggung jawab yang sebelumnya dipikul oleh masing-masing
pihak.
3)
Pernikahan
dapat pula membentengi diri dari perbuatan tercela.
4)
Pernikahan
merupakan sunah Rasulullah saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar